Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di dan Di Luar Pengadilan 


Oleh  A Sriyanto ,SPd ,MH, AAJI, (Med) (Anggota Badan Mediator Indonesia dan ketua LPK Trankonmasi Kab Magelang)



Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimanasuatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yangbesengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.

(Goodpaster, 1999 : 241) “Mediation is a process in which two or more people involved in a dispute come together, totry to work out a solution to their problem with the help of a neutral third person, calledthe “Mediator”.(Lovenheim, 1996 : 1.

Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui prosespeundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yangtidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuahpenyelesaian.

Dan memurut ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentangProsedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003),dimana dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut.

Latar Belakang mengapa Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini.

Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam prosesperkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :

- Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara.
- Kedua, proses mediasi di pandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah di bandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi,sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. 

Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersamapara pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative disputeresolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.

- Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagipara pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilandapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa.

PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan.

PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Bagaimana Mediation Berperan Dalam Penyelesaian Sengketa :

(a)Voluntary Mediation, Dilakukan atas keinginan bersama para pihak baik atas inisiatif suatu pihak dan disetujui pihak lain, maupun atas kehendak bersama. Ini menghasilkan “Perjanjian Mediasi – Agreement to Mediate”.  ( Lovenheim, 1996 : 1.22; )
(b). Mandatory Mediation Atas dasar permintaan majelis hakim atau arbitrase dalam proses peradilan/arbitrase, peraturan perundang-undangan,atau atas kesepakatan bersama dari awal,

Dalam praktik peradilan perdata dan arbitrase diIndonesia, hakim dan arbiter selalu memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka secara musyawarah, dan perkembangan sekarang ditegaskan dilakukan melalui proses mediasi. (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).

Disisi lain, dapat juga sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi. Kesepakatan ini yang dikenal dengan “Mediation Clause”. Inilah mandatory mediation yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak.

Sebagai kesepakatan bersama, ketentuan tersebut akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal1338 jo. Pasal 1320 KUH Perdata). Oleh karena itu, dalam merumuskan Mediation Clause perlu dipertimbangkan sebagaimana jalan keluar harus diberikan dalam hal suatu mediasi tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Pemahaman “You don’t give up rights when you agreeto mediate” harus di jadikan dasar dalam merumuskan “Mediation Clause”.(Lovenheim, 1996 : 1.3) kalau sudah terjadi kesepakan perdamaian ,maka Mediator mengajukan penetapan ,” Akta Van Dadding”  dengan  cara mengajukan gugatan biasa  yang nantinya Ketua Pengadilan  memanggil kedua beleh pihak kalau sudah ada kesepekatan lewat Mediator  Ad Hoc (Profesional) akan menetapkan akte perdamaian (Akta Van dadding) yang berkekuatan hukum tetap selayaknya putusan  pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kelebihan  akta perdamaian lewat mediator Ad Hoc adalah final dan mengikat artinya mengikat adalah selayaknya putusan pengadial dan final  artinya tidak ada banding  karena sudah mempunyai kekuatan hukum tetap salayaknya (incracht) sesuai PERMA N0 2  Tahun 2003 dan dirivisi oleh PERMA  1 Tahun  2008.

 Penulis : A Sriyanto ,SPd ,MH, AAJI, (Med)
 Editor   : Hilman Trankonmasi







Give us your opinion