Oleh : Pudjo Rahayu Risan
Dunia Pers sedang menghadapi badai yang cukup serius. Badai
dari dua sisi sekaligus. Badai pertama yang menghantam adalah Covid-19 dan
badai kedua dari dunia maya, khususnya konten-konten kategori hoaks yang justru
lebih cepat sampai ke publik serta khalayak dan cenderung lebih dipercaya.
Jangan biarkan Pers tumbang dihantam Covid-19 dan hoaks.
Mengapa Pers jangan
dibiarkan tumbang dihantam Covid-19 dan hoaks?
Sebab Pers digadang-gadang dan ditempatkan pada posisi yang
terhormat sebagai penjaga demokrasi, maka bisa juga disebut pilar keempat
demokrasi (the fourth estate),
setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bukan retorika atau pemanis bibir
tetapi bena-benar mutlak
dibutuhkan. Ingat kata-kata Thomas Jefferson yang berani
bilang: "Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah, daripada memiliki
pemerintah tanpa pers".
Namun kenyataannya posisi sebagai pilar keempat
demokrasi sering dipertanyakan. Hal ini bisa dimaklumi dimana Pers
merupakan sub sistem dari sistem sosial di Indonesia.Wajah Pers cerminan dari
wajah masyarakatnya. Sebagai pilar keempat demokrasi mestinya sejajar
dengan pilar lainnya, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus
sebagai penyeimbang. Faktanya Pers pada posisi paling lemah dibanding tiga
pilar lainnya.
Kelemahan Pers semakin tampak ketika menghadapi Covid-19
termasuk didalamnya memiliki konsekeunsi aspek ekonomi dan maraknya media
sosial yang semakin berat bagi Pers kalau harus bersaing dengan mereka. Diakui
atau tidak, sepuluh-dua puluh tahun belakangan ini sebenarnya Pers kita sudah
menuju proses pelemahan alamiah dengan munculnya teknologi digital dan
internet.
Satu persatu Pers mulai melemah. Satu persatu Pers mulai
tumbang. Pers kelompok ini karakternya Pers lokal dan dimiliki lebih ke
dominasi keluarga dan tidak kaya akan jaringan. Bukan kelompok kongklomerasi.
Bukan dimiliki oleh kelompok kongklomerat.
Dengan demikian, Pers yang sampai sekarang masih berjalan
dimiliki oleh kelompok kongklomerat karena disamping mengelola pers juga
mengelola bisnis lain yang sudah menggurita. Punya televise siaran, hotel,
lembaga keuangan, asuransi, kelapa sawit, batu
bara dan masih banyak bisnis-bisnis yang justru bisa
memperkuat pers itu sendiri. Kendatipun begitu, dengan adanya wabah Covid-19
disamping menimbulkan krisis kesehatan juga krisis yang lain termasuk krisis
ekonomi. Tidak bisa menghindar, Pers kena dampak krisis ekonomi. Sekalipun pers
dimiliki oleh kongklomerasi tetap goyah karena jaringan bisnisnya juga kena
dampak Covid-19.
Dampak Corona, Pers
perlu dapat insentif pajak
Covid-19 benar-benar tidak pandang bulu. Karena tidak pandang
bulu, maka Pers sebagai institusi di samping memiliki visi idealisme juga
dituntut mendatangkan laba, merasakan dampak ekonomi yang berat. Hantaman
regulair sebelum muncul Covid-19 sebenarnya dunia Pers sudah mulai tampak.
Tiras atau oplah turun drastis, pelanggan dan
pembaca ketengan beralih ke ponsel dengan mudah dan murah
bisa mengakses berita tanpa harus repot-repot langganan atau beIi eceran.
Covid-19 membatasi dalam berinteraksi, tak terkecuali bagi
jurnalis. Beda dengan bencana lain seperti banjir, gempa bumi, hingga tsunami,
jurnalis relatif masih bebas bergerak di lapangan untuk mengumpulkan data. Di
tengah Covid-19, sebagian besar kebebasan dan keleluasaan hilang dan terenggut.
Wawancara telepon, konferensi pers melalui media poll, hingga diskusi atau
seminar yang harus diselenggarakan lewat aplikasi.
Sedikit banyak akan menurunkan produktivitas, bahkan kualitas
tidak sebaik ketika secara pisik ketemu. Pers bukan dibatasi secara subtansial
tetapi dibatasi oleh wabah Covid-19. Serikat Perusahaan Pers mendorong
pemerintah agar memberikan perhatian kepada perusahaan pers karena terdampak
Covid-19. Salah satu dengan pemberian insentif. Hal ini beralasan bahwa semakin
banyak perusahaan pers yang tumbang di tengah pandemi. Secara factual bisa kita
lihat yang dirasakan oleh media di tengah pandemi Covid-19 menurunnya pendapatan
iklan, berkurangnya daya beli hingga lonjakan biaya operasional media cetak.
Untuk praktis dan ekonimis, cukup hanya perusahaan pers yang terdampak dan
terdaftar sebagai anggota SPS serta sudah terverifikasi oleh Dewan Pers yang
berhak menerima insentif dari pemerintah. Tidak itu saja, SPS Pusat juga
mendorong agar pemerintah tak hanya memberikan perhatian kepada perusahaan
pers, tapi para jurnalis yang terjun ke lapangan ditengah Covid-91 berlangsung.
Semakin nyata bahwa jangan biarkan Pers tumbang dihantam
Covid-19, Dewan Pers mengajukan sembilan usulan insentif bagi perusahaan media
kepada pemerintah. Sembilan usulan Dewan Pers kepada pemerintah,
pertama penghapusan kewajiban pembayaran PPh 21, 22, 23, 25 selama
tahun 2020. Kedua, penghapusan PPH omzet untuk perusahaan pers tahun 2020.
Ketiga, penangguhan pembayaran denda-denda bayar pajak terhutang sebelum 2020.
Keempat, pembayaran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tahun 2020 ditanggung
oleh negara. Kelima, pemberlakuan subsidi 20% dari tagihan listrik bagi
perusahaan pers selama masa pandemi berlangsung. Keenam, pengalokasian
anggaran diseminasi program dan kinerja pemerintah untuk perusahaan pers yang
terdaftar di Dewan Pers. Ketujuh, pemberlakuan subsidi sebesar 10% (sepuluh
persen) per kilogram pembelian bahan baku
kertas untuk media cetak. Kedelapan, penghapusan biaya Izin
Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) untuk media
penyiaran radio dan media penyiaran televise tahun 2020. Dan kesembilan,
pemberlakukan ketentuan tentang paket data internet
bertarif rendah untuk masyarakat kepada perusahaan penyedia
layanan internet. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi turunnya daya beli
masyarakat akibat krisis ekonomi pasca-pandemi yang juga dapat menyebabkan
turunnya tingkat minat baca masyarakat terhadap
berita berkualitas.
Ketua Dewan Pers, Mohamdan Nuh berjanji dan meminta Pers
tetap menjaga independensi dan profesionalisme pers, pemerintah melalui cara
ini dapat berperan mendukung keberlangsungan hidup perusahaan pers yang
kredibel pada situasi krisis.
Masalah muncul ketika kebijakan ekonomi dan relaksasi yang
diberikan pemerintah tidak secara spesifik untuk bidang-bidang tertentu tetapi
berlaku secara makro. Seperti penjelasan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi sembilan usulan Dewan Pers,
menyebutkan bahwa perusahaan pers sebetulnya akan mendapatkan keringanan pajak
penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan. Dimana pemerintah rencananya
akan menanggung PPh Pasal 21 dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun.
Tampaknya usulan Dewan Pers seperti untuk menghapus PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 25 belum ada tanggapan yang menggembirakan,
dimana dari perluasan stimulus perpajakan jilid ke dua yang terlebih dahulu
diberikan pemerintah kepada industri
manufaktur.
Pers Vs Hoaks
Ketika masa normal saja berita-berita hoaks sudah meresahkan,
apalagi dengan situasi Covid-19 mejadi hal yang serius. Informasi yang bersifat
hoaks menyebar dengan cepat baik melalui saluran media sosial maupun grup di
aplikasi chatting, seperti WhatsApp, Black Berry Messenger, dan masih banyak
lagi. Parahnya lagi banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi
hoaks dan penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum dapat dipastikan.
Suasana dan kondisi Covid-19 tidak menyurutkan beredarnya
berita-berita hoaks, justru semakin kencang. Persepsi menyingkirkan
faktor-faktor lain, seperti kebenaran, faktualitas, dan validitas. Maka
secara persepsi ada kecenderungan orang lebih percaya walau berita itu ternyata
hoaks apabila informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.
Situasi pandemi semacam ini potensi untuk dijadikan rujukan seseorang atau
sekelompok orang membuat berita hoaks. Seandainya tidak sependapat dengan
pandangannya, dengan gampang, cepat dan murah bisa menyebar hoaks dengan konten
yang mereka kehendaki. Tidak peduli itu menangapi kebijakan resmi sekalipun.
Disinilah Pers sebagai media mainstream menjadi sasaran empuk
manakala informasi bohong justru masuk ke dimensi lain di media sosial dan diadopsi
begitu saja dimedia mainstream tanpa klarifikasi. Kemungkinan ini sangat
terbuka mengingat lalu lalang informasi yang begitu intens berseliweran
ditengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa berakibat masyarakat kehilangan
kepercayaan terhadap media mainstream. Mestinya, baik media mainstream maupun
media online, hampir semua media pers cetak memiliki media online, meluruskan
kalau ada berita-berita yang tidak benar, berita-berita bohong, hoaks, ujaran-ujaran
kebencian, sehingga masyarakat menjadi tercerahkan oleh pelurusan itu.
Pada posisi sekarang ini harus dikatakan kekuatan pers
melalui media mainstream menjadi kalah minat sebagai sumber informasi
daripada media sosial. Bahkan dalam kasus tertentu, tidak jarang justru pers
mengikuti arus narasi dan wacana dari media sosial. Mari kita simak puisi
Kahlil Gibran untuk sebuah renungan, “Jika engkau mengabarkan rahasiamu kepada
burung, jangan salahkan burung jika berkicau kepada angin. Dan angin menghembuskannya
ke seluruh dunia“.
Permasalahnya sekarang Pers sedang menghadapi sendiri antara
hidup dan mati. Antara terbit dan tenggelam. Semoga badai corona segera
berlalu. Pers mampu untuk tidak mengabarkan rahasianya kepada burung, karena
burung tidak bisa disalahkan ketika burung berkicau kepada angin. Dan angin
menghembuskannya ke seluruh dunia“.
(Pudjo Rahayu Risan, pengamat
kebijakan publik dan pengajar tidak tetap STIE Semarang serta STIE BPD Jateng)