Pemalang, lpktrankonmadi.com
Jateng (31/06/2021)
- Sebuah akun medsos yang membuat
tulisan jujur menuliskan sebuah ungkapan yang polos dan apa adanya dengan
munuliskan dengan bahasa lokal Pemalangan ke Bapak Bupati selaku orang nomor
satu di Kabupaten Pemalang yang isinya dikutip berikut ini :
" BAPAK BUPATI YG
Terhormat...
Nang apa Bantuan ora
tepat sasaran !
Bisa di Cek nang kene
Tegalmlati Petarukan ... tokonan , rumah tingkat biso tuku kamvlingan tpi entok
Pkh! Nang opo sing wong kyo Aku jauh dri kata mampu ora entok apa"!!
Apa bantuan mung ngo
wong sing mampu" tok.
Sing wes olih pkh . .
Olih bantuan maning sing kae sing kie bantuan terus Bantuane ngo wong kae
maning wong kae maning, apa datane mung wong kae kae tok, Mbok di bagi sing
Rata . Isih akeh wong sing membutuhkn opo maning Pandemi kyo kie!! Mnyuarakan
ngo wong" sing senasib! Bingung pan usul kro sapa !
Matur Suwun "
Itulah bahasa jujur
dari satu seorang rakyat kecil ,seorang ibu rumah tangga yang tidak tahu harus
mengadu kepada siapa dan mau protes kepada siapa yang mungkin mewakili mendapat
curhatan dari ibu-ibu lainya yang tidak mendapat bantuan apapun dari program
pemerintah yang selama ini telah digelontorkan. Dampak Pandemi Covid-19 yang
sudah berlangsung 1,7 bulan lebih di negara
kita ini mempertegas
kekuatan tiap-tiap orang dalam menghadapi bencana covid-19 ini, tergantung dari
kelas sosial mana berada, dimana Virus ganas Covid-19 tanpa pandang bulu untuk menyerang dari berbagai kalangan mana,
namun dari kalangan siapa yang akan memiliki bertahan hidup lebih panjang?
Diterapakannya PSBB,
Lockdown, Jam Malam dalam kebijakan sebelumnya oleh Kebijakan Pemerintah Pusat
bahkan sampai ke PPKM Darurat ber-level sesuai dengan kondisi daerah kususnya
di Jawa dan Bali, ini sangat dirasakan lapisan masyarakat ekonomi rentan
kehilangan pijakan bertahan hidupnya, yang tentunya makin memperkecil
pendapatan tiap harinya yang juga sebelumnya sudah minim pendapatan dan juga
mereka harus melawan wabah dan menahan kelaparan secara masal.
Berbagai bantuan telah
digontorkan oleh pemerintah dalam skema perlindungan sosial, sesuai dengan
Undang-undang Nomor : 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, namun
perlindungan sosial berbagai bansos terbatas jangkaunya dan tidak merata
pembagianya, bahkan juga menyisakan celah untuk dikorupsi dalam
pelaksanaanya.
Kebijakan PPKM Darurat
bukanlah masalah besar bagi kalangan sosial kelas atas, namun menjadikan
bencana bagi kalangan masyarakat bawah seperti : pedagang kaki lima, buruh
harian dan sektor informal dan pekerja swasta lainya, dibatasinya kegiatan
masyarakat berarti pula dibatasinya pendapatan dan kesempatan hidup mereka.
Belum lagi nasib
pekerja informal macam driver ojol, tukang parkir, bpooruh harian, pedagang
kecil di tempat-tempat wisata, penjaja makanan di sudut-sudut kota, dan
sejenisnya. Kalangan masyarakat itu sudah terhimpit dalam situasi ekonomi
"normal", dan makin terjepit lagi ketika datang wabah dan krisis
seperti ini.
Karena itu,
diterapkannya UU Kekarantinaan Kesehatan secara utuh sangat siginifikan.
Pemerintah membatasi dan menghentikan aktivitas non esensial, sembari menjamin
dan memenuhi kebutuhan pokok tiap orang, serta pula menjamin hak mendapat
pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis.
Namun yang tampak sejak
awal pandemi, dengan corak dan watak kekuasaannya yang sekarang, mengharapkan
perlindungan negara kelihatannya nyaris seperti fantasi yang berlebihan.
Menghadapi pandemi ini, sedari awal kita memang dipaksa untuk bertarung secara
mandiri, tanpa bantuan orang-orang yang sebelumnya telah kita pilih untuk
mewakili kepentingan kita.
Juliari menilep cuan 32
miliar sebagai uang pelicin, dari total anggaran bansos 6,8 triliun. Andre Dedy
Nainggolan, eks Kasatgas Penyidik Tipikor, menyatakan masih banyak yang belum
diungkap dalam kasus itu. Nyaris setengah dari yang seharusnya diterima
masyarakat sejumlah Rp 270 ribu hilang. Artinya, jika ditotal seluruh penerima
bansos, menurut Andre ada sekitar 2 triliun kerugian yang ditanggung negara.
Sebagaimana ketimpangan
kekayaan yang menganga, kekuatan tiap lapis masyarakat menghadapi pandemi juga
berbeda. Membandingkan driver ojol dan anggota dewan dan para pejabat eselon
lainya bertahan hidup di tengah kegilaan wabah ini tentu saja sikap yang tak
bijak.
Para pejabat juga
anggota dewan punya jabatan, privilese hingga kekayaan untuk mengakses
fasilitas kesehatan dengan mudah namun berbanding terbalik dengan nasib driver
ojol, atau pedagang kaki lima, atau buruh harian, atau lapisan masyarakat
sejenis mereka. Jangankan punya akses kesehatan, bisa makan minum yang cukup
saja sudah untung.
Bagi masyarakat dengan
ekonomi rentan, situasi pandemi ini punya daya pukul ganda. Di satu sisi,
mereka mesti bertahan dari virus. Di sisi lain, mereka juga melawan kelaparan.
Sebab, tidak sedikit dari mereka yang berada di sektor formal di-PHK atau pun
dikurangi jam kerjanya.
Akankah Undang- undang
Nomor : 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bisa diterapkan di negara
kita..?
Penulis : Ojin (Sekretaris IPJT Pemalang)
Disadur dari : Nur Fitriansah -Detik News