Oleh
: Pudjo Rahayu Risan
Ditengah suasana
pandemi Covid-19 Presiden Joko Widodo, 4/5/2020, menandatangani Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini
mengatur penundaan pemungutan suara Pilkada 2020 dari September menjadi
Desember atau bisa lebih lama lagi tergantung situasi pandemi Covid-19 di Tanah
Air. Perppu tersebut, merupakan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi
Undang-Undang.
Atas dasar itu, maka
tidak ada salahnya melakukan kalkulasi politik dengan hitung-hitungan secara
cermat ketika akan memutuskan mengikuti pilkada serentak 2020, dimana memilih
secara langsung 270 kepala daerah, terdiri 9 provinsi, 37 kota dan 224
kabupaten. Kenapa mesti cermat, karena menurut UU Pilkada No 10 Tahun 2016,
kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 hanya akan menduduki jabatan maksimal
4 tahun.
Pasal 201 ayat 7 diatur
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota hasil pemilihan tahun 2020 akan berakhir masa jabatannya di tahun
2024. Diwacanakan sebagai penggantinya, para kepala daerah tersebut akan
mendapat ganti rugi berupa gaji karena tak menjalankan tugas secara penuh
selama 5 tahun. Apakah langkah ini tidak membebani uang negara dan bisa
dikategorikan dobel anggaran karena menggaji dua kepala daerah untuk melengkapi
kekurangan masa jabatan yang mestinya lima tahun.
Bisa
mundur lagi karena Corona
Dalam Perppu 2/2020 muncul ketentuan, penundaan pemungutan
suara Pilkada 2020 dari September menjadi Desember atau bisa lebih lama lagi
tergantung situasi pandemi Covid-19 di Tanah Air. Ketentuan ini membuka peluang
dan sangat besar kemungkinan mundur lagi tergantung situasi pandemi Covid-19 di
tanah air. Siapapun sulit memastikan dengan tepat kapan wabah Covid-19
benar-benar aman untuk pelaksanaan pilkada di 270 daerah. Harapan kita semua
keselamatan masyarakat paling utama.
Apalagi penundaan
pelaksanaan hanya tiga bulan dari September ke Desember. KPU dan Bawaslu
sebagai pelaksana pilkada sudah kehilangan waktu dan momentum. Karena proses
tahapan sudah berjalan tiba-tiba berhenti dan akan dimulai lagi paling tidak
bulan Juni 2020 harus berjalan lagi. Apakah bulan Juni sudah aman dari wabah
Covid-19 ? Bulan Juni dari sekarang tinggal hitungan hari. Apalagi harus
melibatkan orang dalam jumlah yang relatif banyak dan tersebar di 270 daerah.
Karena wabah Covid-19 unpredictable kapan benar-benar aman,
perlu dipersiapkan skenario terburuk jika Covid-19 belum tuntas maka
dimungkinkan dilaksanakan penundaan kembali berdasarkan persetujuan bersama
KPU, DPR dan Pemerintah. Penundaan ini seandainya sebagai pilihan terbaik maka
KPU dan Bawaslu institusi paling direpotkan. Kendati dua institusi ini yang
paling direpotkan, baik dari sisi persiapan atau hal-hal lain karena imbas
Covid-19 jadi tidak dilaksanakan pada Desember 2020 tampaknya lebih
menguntungkan.
Hal ini senada dengan Bawaslu yang mengkritisi bahwa
pelaksanaan Pilkada 2020 jika digelar 9 Desember 2020 terbuka potensi
maladministrasi. Argumentasi Bawaslu cukup beralasan salah satu kemungkinannya
adalah, potensi abuse of power yang
dilakukan petahana dengan modus bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19.
Contoh konkrit ada foto Bupati petahana yang akan maju lagi menempel di paket
bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 memancing polemik. Kasus ini
membuka mata publik terkait politisasi bansos saat krisis di tengah pandemi.
Kiranya kita sepakat dengan pertimbangan Bawaslu kejadian
seperti di Klaten terjadi dan akan terjadi di daerah lain. Dalam kalkulasi
politik, pilihannya hanya ada dua menguntungkan atau tidak menguntungkan.
Sepanjang menguntungkan, bila perlu ada sedikit celah pasti dimanfaatkan walau
menyerempet abuse of power.
Sebaliknya, bila tidak menguntungkan sebaik apapun tidak perlu diambil.
Disamping abuse of power terbuka
kemungkinan adanya money politics.
Banyak jalan untuk kampanye terselubung di suasana penanganan pandemi Covid-19.
Bantuan itu diberi label dan simbol-simbol kepala daerah, dengan disisipi
jargon-jargon kampanye periode sebelumnya meskipun saat ini belum masa
kampanye. Kampanye “premature”. Pemberian bansos tidak mengatasnamakan
pemerintah, tetapi atas nama langsung pribadinya"
Selain Bawaslu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), menilai pilihan melaksanakan Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember
cukup berisiko. Perludem berasumsi masa waktu penyebaran Covid-19 belum tahu
kapan berakhirnya. Masuk akal juga karena bisa tidak berjalan efektif kalau
tahapan sudah mulai dipersiapkan, namun status pandemi masih berlanjut.
Konsekuensi ada pada KPU akhirnya harus bekerja dua kali akibat keputusan
penundaan yang harus kembali dilakukan.
Sebelum Perppu ini
terbit, Perludem mendesak agar Presiden segera menerbitkan Perppu. Setelah
Perppu terbit dan menyatakan pilkada diselenggarakan 9 Desember 2020, Perludem sekarang
mengusulkan agar Pilkada 2020 digelar setelah Indonesia dinyatakan bersih dari
Covid-19. Asumsi ini juga masuk akal karena tahapan pilkada berjalan pada
suasana wabah Covid-19 masih terjadi. Ketika tahapan pilkada itu dimulai,
situasi belum betul-betul bersih. Masih perlu recovery, dimungkinkan masih ada potensi penularan.
Kalkulasi
politik
Ketika pilkada serentak
2020 sejak awal direncanakan 23
September 2020, menghasilkan kepala daerah menjabat maksimal 4 karena
dijadwalkan akan mengikuti pilkada serentak tahun 2024. Dengan terbitnya Perppu
2/2020 yang pemungutan suara dilaksanakan Desember 2020, semakin mengurangi
masa jabatan dari maksimal 4 tahun menjadi lebih pendek. Apalagi wabah Covid-19
belum benar-benar aman, sesuai ketentuan pemungutan suara tidak Desember bisa
diundur lebih lama lagi tergantung situasi pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Menurut hitung-hitungan
dikaitkan dengan waktu dan masih dilanda Covid-19, ada tiga opsi penundaan. Pertama,
pelaksanaan pemungutan suara ditunda tiga bulan dari 23 September 2020 menjadi
9 Desember 2020. Kedua, pemungutan suara
ditunda enam bulan, yaitu 17 Maret 2021. Pilihan ketiga, pemungutan suara
ditunda satu tahun, pada 29 September
2021. Pilihan ketiga jelas paling rasional karena wabah Corona diprediksi telah
selesai.
Konsekuensi pilihan
opsi ketiga semakin jauh dari lima tahun tapi hanya sekitar dua tahun. Ini
mengacu Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menyebutkan bahwa gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota hasil
pilkada 2020 menjabat sampai dengan 2024. Dijadwalkan Nopember 2024 sesuai
Pasal 201 ayat (8) pelaksanaan pilkada serentak nasional.
Kalkulasi dimulai ketika hitung-hitungan pengeluaran yang
besar calon kepala daerah tidak sebanding dengan penghasilan resminya. Misal
penghasilan resmi Rp200 juta per bulan, setahun Rp2,4 miliar. Masa jabatan
hanya dua tahun penghasilan resmi Rp4,8 miliar. Padahal kalkulasi untuk biaya
proses selama pilkada rata-rata menghabiskan Rp25 miliar sampai Rp30 miliar.
Memang ada yang mengkalkulasi tidak dengan uang semata,
tetapi suatu kehormatan, prestis, gengsi, harkat martabat, dapat protokol vvip,
rumah dinas (pendapa), foto dipasang dimana mana, tercatat dalam sejarah dan
sambil berseloroh seorang kepala daerah yang tahu kalau rugi tetapi bisa naik
mobil pelat merah dengan nomor polisi angka 1. Padahal mobil dinasnya masih
kalah dengan mobil pribadi sebelum jadi kepala daerah. Alasannya dealer mobil
tidak ada menjual mobil pelat merah dengan nomor wahid.
Terlepas diakui atau
tidak, syahwat politik para calon kandidat berpikir panjang untuk ikut
kontestasi pilkada serentak pada periode 2020, dimana belum ada kepastian
sehubungan dengan wabah Covid-19. Hal ini sejalan sebagaimana disebut dalam
Pasal 120 ayat (1) angka (3), dalam hal pemungutan suara serentak pada ayat (2)
tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan
kembali segera setelah bencana nonalam dan dilakukan atas persetujuan bersama
antara KPU, Pemerintah, dan DPR.
Diakui atau tidak,
karena pernyataan orang politik bisa jadi multi tafsir, bakal calon Wali Kota
Surakarta Achmad Purnomo memastikan dirinya bakal mundur dari pencalonan
Pilkada Solo, setelah pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dilaksanakan Desember
mendatang. Argumentasinya tidak bisa melakukan kampanye dengan melihat situasi
seperti wabah COVID-19 di Solo. Publik bisa menduga karena Corona atau
kalkulasi politik.
Bupati Wonogiri Joko
Sutopo terlepas apa argumentasi sebenarnya, jika KPU tetap menggelar Pilkada
serentak pada Desember 2020 maka dia memastikan akan mundur dari pencalonannya
untuk periode kedua. Semakin bulat mundur ketika diundur sampai September 2021.
Di politikpun perlu ada kajian dari aspek dan prespektif ekonomi.