Oleh: Wilson Lalengke
JAKARTA-lpktrankonmasi.com
Adagium
‘Sejahat-jahatnya harimau, ia tidak akan memakan anaknya sendiri’ tidak lagi
berlaku belakangan ini. Peribahasa yang menjelaskan hubungan ‘love without
reserve’ antara orang tua dan anaknya itu ternyata hanyalah sebuah retorika
belaka. Entah sejak kapan perumpamaan itu hilang makna menjadi hanya sebuah
kalimat kosong belaka.
Penggambaran
‘sebejat-bejatnya orang tua, mereka tidak akan mencelakai anaknya sendiri’
melalui kalimat kiasan di atas itu, kini sudah tidak relevan untuk diucapkan
alias tidak lagi memiliki nilai moral apapun. Kalimat yang terdengar indah itu,
saat ini sudah harus dimusiumkan segera. Jika perlu, kita boleh meminta bantuan
Ibu Susi Pujiasuti untuk membantu menenggelamkan ke dasar Laut Pangandaran
saja.
Lukisan keadaan di atas
itu cukup pas untuk mendeskripsikan dengan singkat kasus kriminalisasi seorang
Ibu Bhayangkari, Nina Muhammad, oleh para oknum polisi di Polresta Manado,
Sulawesi Utara. Hari ini, di usia 76 tahun Indonesia merdeka, Ibu Pertiwi boleh
merenung kembali tentang arti kemerdekaan yang sudah diraihnya.
Faktanya, jangankan
berhasil mendidik putra-putrinya untuk tidak menjadi ‘homo homini lupus’
–manusia serigala bagi sesamanya–, mencegah oknum-oknum polisi tidak menerkam
anaknya sendiri saja, negara ini terindikasi gagal melakukannya. Hari-hari
kemarin, hanya warga kebanyakan yang jadi korban kriminalisasi. Kini, kita
saksikan oknum aparat terindikasi kuat sedang melahap anaknya sendiri,
menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang.
Kriminalisasi terhadap
Nina Muhammad, istri seorang Bintara Polisi, merupakan potret buram perilaku
oknum aparat hukum, khususnya di kalangan korps baju coklat, dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kondisi buruk ini sungguh amat
membahayakan bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara.
Beberapa pendekatan
dapat kita pakai dalam menganalisis permasalahan ini hingga setiap kita
semestinya prihatin dan mewaspadai terjadinya kondisi yang lebih parah di
masa-masa mendatang ini. Pertama, jika terjadi kriminalisasi warga internal
Polri oleh oknum aparat Polri sendiri, dan dibiarkan tanpa penindakan dari
pimpinan institusi itu, hal tersebut berpotensi besar untuk terulang dan
terulang lagi di masa mendatang. Keadaan ini, cepat atau lambat, akan
memunculkan ketegangan dan pertikaian yang lebih dalam di antara faksi-faksi di
internal Polri yang disinyalir selama ini sedang bersaing ketat berebut
hegemoni di lingkaran Trunojoyo itu.
Kedua, sebagaimana
lazimnya, publik dengan serta-merta akan membangun asumsi dalam pikiran warasnya
bahwa ‘jika anak sendiri saja dikriminalisasinya tanpa sensitivitas nurani
selayaknya manusia pada umumnya, tentu dengan mudah kasus kriminalisasi serupa
akan terjadi pada warga biasa, warga yang tidak punya hubungan apapun dengan
para oknum aparat itu’. Asumsi minor semacam ini, yang terakumulasi secara
kualitas dan kuantitas, pada gilirannya akan menimbulkan gejolak masyarakat
yang dapat mewujud sebagai tsunami kekacauan sosial yang dasyat, yang pada
akhirnya dapat melahirkan suasana chaos yang memporak-porandakan bangsa dan
negara ini.
Ketiga, perilaku
‘anjing menggonggong kafila berlalu’ sedang dipertontonkan oleh para oknum
polisi di Polresta Manado dengan tetap bersikukuh meneruskan kriminalisasi atas
Nina Muhammad. Walaupun oknum Kapolrestanya telah dilaporkan ke Divpropam Mabes
Polri, beberapa petinggi di Mabes Polri telah mengingatkan Polresta Manado dan
Polda Sulawesi Utara untuk meninjau kembali kasus itu, dan sejumlah petinggi
negeri di Jakarta telah menghimbau agar aparat polisi di sana melaksanakan
penegakan hukum sesuai aturan hukum yang berlaku, namun semua itu terlihat
diabaikan. Sangat mungkin, sikap dan perilaku pengabaian ini didasarkan pada
adagium ‘sesama buskota tidak boleh saling mendahului’, sesama pemain harus
saling menghargai.
Keempat, peristiwa unik
‘orang tua memakan anaknya sendiri’ dalam kasus kriminalisasi Ibu Bhayangkari
di Polresta Manado itu secara kasat mata mengindikasikan lemahnya kepemimpinan
di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Jikapun tidak ingin dikatakan demikian,
minimal kejadian tersebut mengesankan adanya ketidak-pedulian pimpinan Polri
dalam menangani persoalan di internal keluarga besarnya sendiri. Lagi-lagi,
masyarakat akan berkata singkat: ‘kepada anaknya saja dia tidak perduli,
apalagi ke kita warga kebanyakan!’
Kelima, penanganan
kasus kriminalisasi Nina Muhammad sangat jelas melanggar berbagai ketentuan
perundangan dan peraturan yang ada. Setidaknya, oknum Kapolresta Manado bersama
jajarannya itu jelas melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 tahun 2009,
Perkap No. 10 tahun 2011, Perkap No. 14 tahun 2012, dan Pasal 72 KUHAP, serta
Pasal 17 UU Advokat. Berdasarkan fakta ini, kita dapat menduga bahwa para oknum
aparat di Polresta Manado itu lebih digdaya dari para pimpinan yang bertengger
di Mabes Trunojoyo. Apakah karena ada Menkumham di lingkaran itu?
Rupanya ‘Jokowi’ benar
saat dia bilang: ‘corona sontoloyo!’ (*)