Jepara, lpktrankonmasi.com
Sabtu/10/2021 – INFORMASI mempunyai peranan penting bagi mundur atau majunya suatu bangsa. Sebuah adagium menyebutkan, siapa yang menguasai informasi maka dialah yang menguasai dunia. Dengan demikian, kebebasan memperoleh informasi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak menjadi syarat bagi kemajuan daerah itu sendiri.
Seperti yang saat ini masih terjadi di beberapa daerah, Kabupaten Jepara pada khususnya. Tri Hutomo mengemukakan, masyarakat yang hidup di daerah kaya sumber daya alam (SDA) seringkali justru terjebak dalam kungkungan kemiskinan dan kutukan sumber daya alam karena tidak bisa mengakses informasi seputar pengelolaan SDA-nya secara seimbang. Hal ini kemudian bisa dipastikan berdampak pada rendahnya kekuatan tawar masyarakat .Padahal Pemerintah sudah menerbitkan regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk mengakses dan memperoleh informasi yang berhubungan dengan kehidupan mereka, baik secara individu maupun komunitas. Diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi penanda dimulainya era keterbukaan informasi publik di Indonesia ini.
Dalam UU KIP, badan publik diwajibkan menyediakan informasi atas berbagai kebijakan, peraturan, perjanjian, dan anggaran yang mengatur hajat hidup masyarakat banyak. Informasi dimaksud misalnya APBN/APBD dan detail turunannya, dokumen proyek, perjanjian kerja sama dengan swasta, regulasi, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan publik.
Hampir sama dengan yang dipergunjingkan di Kabupaten Jepara saat ini, terkait masalah data LPJ BUMD yang sudah dimohonkan oleh suatu Lembaga Masyarakat sampai berbulan – bulan bahkan sudah melalui audensi sampai 2x termasuk di Lembaga Legislatif, tidak juga diberikan tanggapan apapun dari BUMD sebagai badan publik. Hal ini bisa menjadi indikator kemunduran suatu pemerintah daerah, karena kebebasan memperoleh informasi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak menjadi syarat bagi kemajuan daerah itu sendiri masih belum terealisasi dengan baik.
Padahal LPJ BUMD ( Badan Usaha Milik Daerah ) sebagai Badan Publik bukanlah Informasi yang dikecualikan untuk bisa diakses bersifat ketat dan terbatas serta yang menyangkut pertahanan negara, rahasia pasien, hak paten dan informasi, yang jika dibuka bisa merugikan kemasalahatan publik. Karena BUMD merupakan Badan Publik yang mempunyai kewajiban mempublikasikan laporan tahunan kepada publik yang telah diatur Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan secara khusus dalam Perda No. 12 Tahun 2018
Disisi lain lambatnya Pejabat Pengelola Informasi & Dokumentasi ( PPID ) dimana pejabat PPID mempunyai peran untuk menyediakan informasi dan dokumentasi untuk diakses oleh masyarakat, sebagai garda depan pelayanan informasi kepada masyarakat. Salah satu fondasi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang terbuka. Di era transparansi yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi saat ini, Pemerintah Kab. Jepara semakin dituntut untuk melakukan tata kelola secara transaparan dan akuntabel”, tapi yang terjadi masyarakat masih kesulitan mendapatkan informasi yang dimaksudkan.
Sulitnya dalam mengajukan permintaan informasi di Jepara, bisa dilihat pada salah satu kasus yaitu permintaan informasi publik sudah dilakukan secara bersurat resmi, tapi selama berbulan-bulan belum juga tidak ada tanggapan, yang seharusnya masyarakat menunggu jawaban resmi dari badan publik selama 10 hari masa kerja. Jika Badan publik masih menunda memberikan jawaban selama 7 hari kerja. Artinya, pada tahap awal dalam meminta informasi saja masyarakat masih membutuhkan waktu 17 hari untuk mendapatkan jawaban. Jika permintaan ditolak atau diabaikan oleh badan publik, masyarakat masih harus mengajukan surat keberatan kepada badan publik sampai 30 hari masa kerja, baru mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi.
Korbankan Waktu
Melihat prosedur yang cukup rumit, hendaknya pemerintah darah bisa merumuskan formula baru yang lebih sederhana dan murah dalam penyelesaian sengketa informasi. Dengan prosedur yang saat ini sudah ada, bisa dibayangkan bagaimana kalau yang bersengketa informasi adalah masyarakat basis seperti nelayan, petani atau buruh ? Mereka harus mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran hanya untuk memperoleh informasi yang memang sudah dijamin dalam undang-undang.
Belum lagi jika masuk pada tahapan ajudikasi nonlitigasi, masyarakat basis dituntut harus mempunyai pengetahuan yang cukup. Mereka juga mungkin berhadapan dengan ahli hukum yang disewa oleh badan publik ketika proses ajudikasi berlangsung. Pada tahapan ini, posisi masyarakat benar-benar sangat tidak diuntungkan, terutama bagi masyarakat basis yang miskin dan tidak cukup pengetahuan.
Dengan kata lain, meski sudah dijamin dalam undang-undang, pada kenyataannya publik masih sulit ketika ingin memperoleh informasi di daerah. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik menuliskan bahwa akses terhadap informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi konstitusi. Pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal28 F dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan pengaturan lebih lanjut adalah agar rumusan konstitusi dalam Pasal 28 F UUD 1945 tidak menjadi sekedar moral rights dan possession of a right, tetapi juga sebagai positive rights dan exercise of a right.
Penulis : Tri Hutomo, Ketua LBH Teguh Wicaksono Indonesia Kab. Jepara