PROBLEM KLASIK PENDANAAN PILKADA SERENTAK 2020



Oleh : Pudjo Rahayu Risan



HARUS diwaspadai sejumlah titik rawan pilkada serentak tahun 2020, dimana berdasarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019, akan bergulir kembali pada 23 September 2020. Jumlah sangat fantastis, memilih secara langsung 270 kepala daerah, terdiri 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Bandingkan dengan pilkada serentak 27 Juni 2018 yang lalu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah di 171 daerah terdiri 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.
          Pengalaman  sejarah telah tercatat ketika pilpres 2019 banyak muncul kerawanan-kerawanan yang bisa menjadi potensi dis-integrasi bangsa. Untuk itu, pilkada serentak 2020 yang jumlahnya relatif banyak, tidak kurang dari 270 daerah melaksanakan kontestasi mencari pemimpin daerahnya yang berkualitas.

Deteksi dini potensi kerawanan
          Potensi titik rawan  pada persiapan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan pilkada 2020, perlu dilakukan deteksi dini dengan harapan azas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil bisa tercapai. Pada gilirannya proses pilkada berjalan dengan baik dan menghasilkan kepala daerah yang diharapkan.
          Paling tidak ada 7 (tujuh) faktor yang bisa mempengaruhi kualitas pilkada karena potensi menimbulkan titik kerawanan yang bisa muncul dan mencederai proses pilkada itu sendiri. Ketujuh potensi yang bisa menimbulkan titik kerawanan, adalah dana, regulasi, penyelenggara, peserta, daftar pemilih tetap, proses sejak persiapan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan serta pihak-pihak terkait (stakeholders).
          Pada pokok bahasan tulisan ini, menganalisa kerawanan pilkada serentak 2020 dari aspek pendanaan. Kenapa aspek dana bisa menjadi salah satu titik kerawanan ? Karena aspek dana atau pembiayaan, banyak variabelnya. Seperti sumber dana berasal dari APBD, dari peserta kontestasi, bantuan pihak ketiga yang mendanai dengan harapan memperoleh imbalan dikemudian hari, juga potensi untuk memanfaat dana dalam politik uang.

Sumber pembiayaan APBD Vs APBN
          Berdasar regulasi, sumber dana pilkada dibiayai masing-masing APBD daerahnya. Hal ini sesuai dengan Permendagri 54/2019 Tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati & Wali Kota yang bersumber dari  APBD. Walau bersumber dari APBD tetapi masih terus menjadi polemik yang berkepanjangan, oleh masing-masing stakeholder dari sudut pandang subyektif sesuai kepentingan masing-masing. Pilkada dikategorikan rezim pemda, maka pembiayaan dibebankan kepada APBD daerah masing-masing.
          Telaah sumber pembiayaan pilkada bagi penyelenggara baik Bawaslu maupun KPU bahkan ada stakeholders yang menginginkan penyelenggaraan pilkada dibiayai dari APBN. Kenapa cenderung mengharapkan dari APBN ? Bawaslu berargumen bahwa setidaknya ada empat hambatan dalam pengawasan pilkada serentak 2020. Hambatan yang dihadapi Bawaslu baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam melakukan pembahasan dana hibah dengan pemda, muncul permasalahan administrasi, peraturan perundang-undangan, ketersediaan anggaran daerah, dan masih banyak faktor lain.
          Memang permasalahan administrasi untuk penganggaran pengawasan pilkada ada dua masalah dari pemda. Pertama, syarat surat persetujuan bupati/walikota. Kedua, proses penandatanganan NPHD, tidak mudah karena memasuki proses ranah politik. Rupanya proses ini sangat menghambat kerja Bawaslu dan KPU.
Muncul permasalahan pada regulasi, ada tiga persoalan penghambat penandatangan NPHD. Pertama, pemda masih menunggu Kemendagri yang menegaskan dan menjelaskan rujukkannya Permendagri 54/2019. Hal ini wajar mengingat proses penganggaran pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota harus tunduk dan patuh kepada pemerintah diatasnya.
Kedua, pemda menghendaki pencantuman standar pembiayaan pengawasan menggunakan standar biaya masing-masing daerah lantaran berasal dari APBD, bukan APBN. Pertimbangan ini juga ada dasarnya, mengingat perencanaan anggaran harus tunduk pada indeks yang telah ditentukan. Ukuran ini bisa berbeda antara satu pihak dengan pihak lain. Antara pemeritah daerah dengan Bawaslu dan KPU.
Ketiga, pemda menunggu keputusan KPU dalam menetapkan jumlah TPS di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Masalah lain terkait ketersediaan anggaran pemda, ada daerah yang mengalokasikan anggaran pengawasan tak sesuai dengan usulan yang diajukan bawaslu baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pertimbangan pemda, yakni kemampuan anggaran atau pendapatan daerah yang berbeda-beda. Pertimbangan ini juga ada dasarnya, salah satunya azas efektivitas dan efisiensi. Baik BPK maupun BPKP ketika melakukan pemeriksaan laporan pertanggung jawaban keuangan, pemda bisa ikut menanggung risko.
Keunggulan biaya pilkada melalui APBN
          Telaah sisi positif pilkada dibiayai dari APBN, dari aspek standarisasi apalagi pilkada dilakukan serentak, untuk tahun 2020 sebanyak 270 daerah. Standarisasi indeks besaran nominal bisa dikelola lewat APBN, bisa menghasilkan efisiensi tanpa menghilangkan pemilu demokratis. Keunggulan adanya standarisasi dari APBD ke APBN dinilai dapat menghilangkan resiko tumpang-tindih biaya anggaran. Hal itu juga dianggap dapat mengurangi biaya-biaya yang selama ini terjadi pemborosan oleh penyelenggara.
Konsekuensi apabila tetap menggunakan APBD, harus dibuat suatu dana cadangan, minimal dua tahun sebelum pemilihan kepala daerah dilakukan di kabupaten/kota, sehingga anggaran tidak terkuras untuk belanja pemilu. Harapannya, anggaran pemilu dapat ditekan melalui pemilu serentak. Dari hasil penghitungan, pemilu serentak dapat mengurangi beban anggaran relatif besar yang bisa mempengaruhi pada sektor-sektor pembangunan yang lain, dan tidak kalah penting bahkan ada yang mendesak namun dinomor duakan karena harus melaksanakan pilkada.
Penyelenggara utama, dalam hal ini KPU, anggaran pilkada dari APBN bisa lebih efektif, karena ada azas sentralisitik, kalau lewat APBD bisa menggangu tahapan pilkada. Hal ini dikarenakan bila mengikuti proses penganggaran lewat APBD yang tidak bisa serentak antar pemerintah daerah satu dengan  yang lain. Pertimbanagan ini juga rasional, bahwa penandatangan NPHD untuk anggaran pilkada memang kerap molor dari waktu yang ditentukan.
Hal itu dinilai karena anggaran pilkada masih bergantung dengan APBD. Molornya ini dari sudut pandang KPU sangat mengganggu karena akan merusak tahapan yang sudah ditetapkan dan tidak boleh bergeser seharipun. Untuk mengatasinya, KPU mengusulkan agar anggaran pilkada bersumber dari APBN. Dengan begitu, anggarannya dapat diputuskan ditingkat pusat sehingga tidak ada lagi penguluran waktu.
Keuntungan lain ketika sumber pembiayaan pilkada dari APBN, besaran indeks biaya sudah langsung dipatok dari tingkat pusat dan dengan sekali ketok palu seluruh daerah teratasi. Tidak ada lagi daerah-daerah yang molor. Itu jauh lebih efektif bahkan bisa lebih efisien.
Selain lebih efektif dan bisa lebih efisien, soal standar biayanya pasti akan sama. Meskipun ada daerah-daerah tertentu ada kekhususan karakteristik tersendiri, tapi standar nasional bisa menjadi patokan. Keuntungannya, soal honor, soal jumlah kegiatan dan lain-lain itu bisa terstandarisasi dengan baik Ini bisa sedikit banyak meredam konflik didaerah terutama yang berdekatan.
Keuntungan lain, ketika sumber biaya dari APBN, tiap daerah juga akan mengalami pemerataan anggaran. Biaya kegiatan, hingga honor dari petugas penyelenggara pemilu juga lebih terstruktur. Namun, usulan ini nampaknya belum dapat direalisasikan saat pilkada  2020, karena tidak ada undang-undang yang mengatur masalah tersebut. Ke depan, perlu dipikirkan agar usulan sumber biaya pilkada masuk dalam UU Pilkada.
Pertimbangan lain, bahwa pilkada serentak 2020, secara tak langsung memunculkan 270 kendala dalam realisasi anggarannya. Hal ini dikarenakan NPHD untuk anggaran pilkada bersumber dari APBD. Berdasar pengalaman, penyebab utama kenapa problem ini selalu berulang, dimana penganggaran pilkada bersumber dari APBD sehingga tidak ada kebijakan satu pintu dalam penganggaran.
Bandingkan dengan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden yang anggarannya bersumber dari APBN serta melalui kendali satu pintu, KPU RI. Pencairan dana hibah tersebut, bisa jadi sangat kental politik, dimana bergantung pada kondisi politik lokal daerah setempat karena ada tiga pihak yang terlibat, yakni pemda, DPRD, dan penyelenggara, terdiri KPU dan Bawaslu daerah.

Pembiayaan dari peserta kontestasi pilkada
          Pembiayaan dari sisi peserta kontestasi pilkada juga bisa menimbulkan kerawanan. Sesuai regulasi, para kandidat bisa menjadi calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, disamping bisa lewat jalur perseorangan.        Bukan rahasia lagi, yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, muncul istilah mahar yang harus disediakan oleh kandidat untuk partai politik yang mengusung. Ada isitilah sewa prahu untuk bisa berselancar pada kontestasi pilkada. Calon independen atau perseorangan yang tidak lewat partai politikpun membutuhkan biasa yang tidak sedikit.

          Kerawanan yang lain, adalah politik uang. Ada istilah serangan fajar, bahkan muncul istilah serangan dhuha yang menggambarkan serangan detik-detik terakhir sebelum menuju ke TPS masih ada manuver politik. Ini semua membutuhkan dana yang yang tidak sedikit. Fenomena ini bagaikan gayung bersambut. Ada kecenderungan calon pemilih juga mengharapkan ada pemberian “amplop”. Bahkan ada istilah “wani piro”. Lebih parah lagi, pemberian dari semua kandidat diterima. Soal kepada siapa suara akan disalurkan tidak ada yang tahu, kecuali yang bersangkutan dengan Tuhan.

          Kerawan juga bisa muncul dari bandar-bandar yang menyebar dana untuk membantu financial bagi kandidat. Bukan rahasia lagi, ada Bandar yang berani membiayai semua kontestan, dengan jumlah yang proporsional besarannya sesuai hasil survey. Semakin surveynya tinggi, semakin besar dana yang digelontorkan. Harapannya, siapapun kandidat yang menang, tetap ada ketergantungan kepada penyandang dana.



* Drs. Pudjo Rahayu Risan, MSi, Magister ADministrasi Publik Undip, Pengajar tidak tetap STIE BPD dan STIE Semarang. 


Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion