Maluku,
lpktrankonmasi.com
Kapolda Maluku Irjen
Pol Drs. Refdi Andri M.Si, menyayangkan terjadinya insiden di Negeri Tamilow
sehingga melukai belasan orang warga dan tujuh anggota polisi. Selain itu, juga
terdapat sejumlah kendaraan yang dirusak, bahkan adanya percobaan perampasan
senjata.
Karenanya Propam
Polda Maluku telah dikerahkan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk melakukan
pemeriksaan.
“Untuk membuktikan
apakah tindakan yang diambil Polres Maluku Tengah sudah sesuai Standar
Operasional Prosedur (SOP) Polri ataukah tidak. Tim Propam yang kita kirim
untuk melakukan penilaian terhadap apa yang terjadi, bagaimana bisa terjadi,
siapa yang melakukan, apa alat yang digunakan dan yang lain-lain,” kata
Kapolda, saat menghadiri undangan rapat dengar pendapat dengan anggota komisi 1
DPRD Maluku terkait insiden bentrokan antara warga Negeri Tamilouw dan polisi
pada Selasa pagi (7/12/2021).
Rapat yang
berlangsung di ruang Komisi 1, Kantor DPRD Maluku, Kota Ambon, dihadiri 9
anggota Komisi 1 DPRD Maluku ini dipimpin langsung oleh Ketua Komisi 1, Amir
Rumra Kamis (9/12/2021) ini, juga dihadiri sejumlah perwakilan tokoh masyarakat
Negeri Tamilouw, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
Kapolda didampingi
Kapolres Maluku Tengah, AKBP Rosita Umasugi, Karo Ops Polda Maluku, Kabidkum,
Kabidhumas, Kasipropam, dan Dirreskrimum.
Dari perwakilan
masyarakat Tamilouw, Habiba Pellu, yang diberikan kesempatan pertama, mengecam
tindakan yang dilakukan aparat Kepolisian di Maluku Tengah.
Menurut mantan
anggota DPRD Maluku dua periode itu, tindakan yang dilakukan aparat kepolisian
dengan menembaki masyarakat sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Menanggapi hal itu,
Kapolda Maluku, kemudian menjelaskan mengenai kronologis penangkapan para
terduga pelaku pengrusakan tanaman warga dan pembakaran kantor desa Tamilouw,
hingga berujung bentrokan antara aparat dengan warga.
Menurutnya,
peristiwa yang terjadi pada 7 Desember 2021 itu, bukan kejadian secara
tiba-tiba, namun berawal pada persoalan-persoalan mendasar. Persoalan tersebut
sedang ditangani oleh pihak Pemerintah setempat, Polres, dan juga mitra terkait
lainnya.
“Kalau kita lihat ke
belakang di tanggal 1 November itu muncul ke permukaan saat kedua belah pihak
melakukan pengukuran hutan wilayah perbatasan. Tetapi pada tanggal 21, 23 dan
24 terjadi pengrusakan beberapa tanaman di sana. Ada tanaman cengkeh, pala,
mangga dan kelapa. Jumlahnya sekitar 600 pohon yang rusak,” ungkap Kapolda.
Atas peristiwa itu,
kemudian dilakukan mediasi dan sudah ada kesepakatan-kesepakatan untuk
dilakukan perdamaian. Kesepakatan itu terjadi pada 9 November di hadapan Bupati
Maluku Tengah, Kapolres, dan yang mewakili Dandim. Terdapat sebanyak 50
kesepakatan.
“Dari kesepakatan
itu, nampaknya ada poin-poin yang tidak diindahkan, sehingga pada hari itu juga
(9 November) terjadi pembakaran kantor negeri (Tamilouw),” jelasnya.
Sebelumnya, kata
Kapolda, pada 1 November 2021, terjadi perlawanan antara kedua warga (Tamilouw
dan Sepa) yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia.
“Kemudian dilakukan
penyelidikan dan siapa pelakunya, sudah kita amankan,” katanya.
Dari rentetan
kronologis tersebut, kata dia, ada tiga masalah utama di sana. Yang pertama
adalah pengrusakan tanaman, pembakaran kantor negeri, dan penganiayaan yang
menyebabkan matinya orang.
“Kemudian apa yang
dilakukan oleh Kapolres dengan semua perkuatannya, bukan cuma tiba-tiba pada
tanggal 7 kemarin persoalannya, tetapi persoalannya adalah tidak diindahkan
panggilan, tidak diberikannya informasi kepada orang-orang yang melihat,
mendengar dan menyaksikan bahwa memang sedang terjadi sesuatu, ada hal-hal yang
ditutup-tutupi baik dari perangkat di sana,” kata dia.
Pada persoalan
tersebut, Kapolda mengaku, warga selalu mengedepankan wanita dan anak-anak
untuk berhadap-hadapan dengan anggota. Pos polisi perbatasan yang bertujuan
untuk bisa menentramkan dan menjaga kedua negeri (Tamilouw dan Sepa) selalu
diminta untuk digeser keberadaannya.
Kemudian ketika
anggota kita masuk di sana, ada penolakan-penolakan, seolah-olah bahwa anggota
yang datang di sana untuk menakut-nakuti masyarakat khususnya di Tamilouw,”
sesalnya.
Kapolda
membandingkan penanganan kasus antara warga Negeri Sepa dengan Tamilouw.
Menurutnya, di Sepa, pihaknya melakukan komunikasi dengan baik, bisa
didiskusikan dengan cara yang kooperatif.
“Bahkan mereka
(warga Sepa) juga yang mengatakan bahwa inilah pelakunya (pelaku penganiayaan
yang menyebabkan matinya orang), ini akan kita hadirkan,” salutnya.
Kapolda tidak
menampik adanya perbedaan ataupun persepsi orang dalam penanganan suatu
masalah.
“Mungkin sedikit
berbeda dengan pandangan orang Tamilouw yang melihat kehadiran polisi di sana,”
katanya.
Dari poin-poin
kesepakatan di hadapan Raja Tamilouw maupun Sepa yang disaksikan Bupati Maluku
Tengah, kata Kapolda, hampir semua poin-poin tersebut tidak ada yang
diindahkan.
“Kalau sudah seperti
itu, lalu apa yang mesti kita perbuat?. Kapolres dalam mengambil tindakan juga
tidak ujug-ujug (tiba-tiba) melakukan itu, semua harus dengan
penilaian-penilaian, ada penilaian yang dibuat intelejen dengan mendengar
masukan dari unsur yang ada di tengah-tengah masyarakat, juga dengan melihat
bagaimana frekuensi penolakan dan pengamanannya,” jelasnya.
Menurutnya,
kehadiran anggota berseragam di sana dengan seberapa besar kekuatan adalah
penilaian Kapolres. Kapolres menilai bagaimana kondisi di lapangan dan kekuatan
apa yang harus dihadirkan.
“Kalau seandainya
dihadirkan kendaraan lapis baja pun, tidak ada masalah karena itu kendaraan
Kepolisian, bukan kita hadirkan kendaraan tempur. Seandainya kita membawa
senjata laras panjang dan apapun itu tidak ada masalah karena itu perlengkapan
Kepolisian,” ujarnya.
Kapolda mengajak
semua pihak untuk menjadikan insiden tersebut sebagai sebuah proses pelajaran
terbaik.
Bahkan saya tulis
surat kepada Gubernur, bahwa semua persoalan di kita umumnya adalah tapal batas
dan lahan. Saya melihat ini potensinya luar biasa, makanya saya katakan saya
mengambil hikmah sehingga mata kita bisa terbuka untuk melihat persoalan ini,”
kata dia.
Persoalan tapal
batas dan lahan, kata Refdi, tidak bisa dibiarkan. Ini harus segera diambil
langkah-langkah yang konkrit.
“Karena kalau ini
kita biarkan hampir semua kabupaten kota, di desa-desa akan terjadi persoalan
seperti ini (bentrokan),” pungkasnya. (JS)